Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan
terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”.
Ini berarti, Islam tidak membeda-bedakan antara kepemimpinan
negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai bentuk
dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan
atau kemasyarakatan
yang melatarbelakangi kepemimpinan
itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau
negara kota. Maka dari itu, sia-sia juga jika kita kaitkan langsung
kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demokratisasi.
Karenanya,
kita lihat sekarang ini kepemimpinan dalam
“Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, dengan
sistem pemerintahan
Raja atau Amir, kepemimpinan ulama
maupun kepemimpinan
para sesepuh masyarakat (community
leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan
langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan
yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan
Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (sesuai
dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk)
orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang
yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum
bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS al-Maidah
[5]:44)*. Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat
keharusan
mendirikan NI (Negara Islam), karena hukum Islam tidak bergantung
pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan
hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga tidak
karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan
oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral
berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan
syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara
agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah
Nabi Muhammad Saw wafat.
-------------
*Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa
ayat al-
Quran yang memerintahkan tentang pemberian
putusan. Sebagaimana difirmankan
Tuhan dalam Q.S. al-Maidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayat-ayat itu dengan
tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak
melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Tuhan
itu pun dikategorikan
kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami
ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya
mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayatayat
itu dari frasa-frasa sebelumnya. Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenarnya
menyebutkan
bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim
dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara
berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, pihak
yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat itu bukan
umat Islam pengikut Nabi Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar