Sabtu, 16 Februari 2013

Asbabul Wurud Hadits kepemimpinan Perempuan yang sering dilupakan

Rasulullah Muhammad SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di Islam dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek-
robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al-Musayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127-128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan
Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
baca juga : http://naghaz-xavien.blogspot.com/2012/12/siapa-bilang-perempuan-tidk-boleh-jadi.html

Rabu, 13 Februari 2013

Islamkah Anda?

Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penulis (Gus Dur)
berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli
gerakan
Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua
jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan
beliau
menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis:
“Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara.
Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan
bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut,
badan yang terasa kecapaian
akibat berkendaraan mobil ke Ito
City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari
selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya
dalam bentuk pertanyaan seperti itu.
Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus
terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB), adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan
politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam
masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non-agama dalam kehidupan
politik, di negara-negara berkembang yang belum memiliki
tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasardasar
agama. Dalam pandangan penulis, ukuran-ukuran ideologis-
agama tetap tidak memperoleh
tempat dalam kehidupan
bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk
kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di sinilah terletak
perbedaan antara moralitas
dan ideologi, walaupun sama-sama
berasal dari wahyu yang satu.

Negeri Kafir Tapi Keseharian Islami

Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai
asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkumpulan
lain yang non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada
penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak
mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda
dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah
partai
politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini
berarti Anda menerima pandangan mereka?
Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam
Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya
homogen (berpandangan tunggal).
Karena bangsa kita beraneka
ragam dalam pandangan hidup,
dengan sendirinya negara tidak
dapat hanya melayani mereka
yang berpandangan negara Islam
saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima
negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap
hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya
melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk
menganggap konsep negara Islam
diterima seluruh kaum muslimin
di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas
penduduk Indonesia.

Konsep Islam

Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku)
tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan
sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilihan
dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa
kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis
sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidupannya
sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika
pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tugas
dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasaan
dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya, maka akan
menjadi lemahlah kepemimpinan tersebut. Apalagi jika kepemimpinan
itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang
takut kepada tekanan-tekanan dari luar dirinya. Memang kedengarannya
mudah mengembangkan
kepemimpinan dalam kehidupan,
tetapi sebenarnya sulit juga, bukan?

ISLAM BUKANLAH FORMALITAS

Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan
terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”.
Ini berarti, Islam tidak membeda-bedakan antara kepemimpinan
negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai bentuk
dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan
atau kemasyarakatan
yang melatarbelakangi kepemimpinan
itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau
negara kota. Maka dari itu, sia-sia juga jika kita kaitkan langsung
kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demokratisasi.
Karenanya,
kita lihat sekarang ini kepemimpinan dalam
“Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, dengan
sistem pemerintahan
Raja atau Amir, kepemimpinan ulama
maupun kepemimpinan
para sesepuh masyarakat (community
leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan
langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan
yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan
Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (sesuai
dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk)
orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang
yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum
bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS al-Maidah
[5]:44)*. Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat
keharusan
mendirikan NI (Negara Islam), karena hukum Islam tidak bergantung
pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan
hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga tidak
karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan
oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral
berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan
syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara
agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah
Nabi Muhammad Saw wafat.

 -------------
*Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa
ayat al-
Quran yang memerintahkan tentang pemberian
putusan. Sebagaimana difirmankan
Tuhan dalam Q.S. al-Maidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayat-ayat itu dengan
tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak
melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Tuhan
itu pun dikategorikan
kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami
ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya
mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayatayat
itu dari frasa-frasa sebelumnya. Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenarnya
menyebutkan
bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim
dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara
berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, pihak
yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat itu bukan
umat Islam pengikut Nabi Muhammad.

Selasa, 12 Februari 2013

Dimanakah posisi anda

cita-cita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keinginan
kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan
Islam manapun,
dan cita-cita para warga gerakan Islam. Tanpa
adanya perhatian
terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita
anggap penting,
tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim
yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlakulah
dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Islamic
legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû
bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimaksud).”

QS al-Baqarah [2]:208

Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat:
“Masuklah
kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû
fi al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), yang berarti kalau
Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguhsungguh
dan tak tanggung-tanggung. Para formalis mengartikan
kata “al-silmi” di sini, dengan
arti Islam sebagai sistem,
katakanlah
sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh
pengikut
yang sedikit, sedangkan
mayoritas kaum muslimin
(terutama
para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai
pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini,
bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk
kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi:
“Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung
tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsalnâka
illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya [21]:107). Ini
jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat
manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia
ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan?


 

Keteladanan Umar

Dalam kondisi terluka, Umar bin Khattab diminta oleh beberapa orang
yang ada disekitarnya untuk menunjuk pengganti yang akan menjalankan roda
kepemerintahan. Jawaban Umar ketika itu membuat kaget orang-orang yang
hadir yaitu: “Apabila saya menunjuk seorang pengganti untuk menjadi khalifah
maka orang yang lebih baik ketimbang saya yaitu Abu Bakar pernah melakukan
itu, dan jika saya tidak menunjuk pengganti maka orang yang lebih baik
ketimbang saya dan Abu Bakar yaitu Rasulullah SAW juga tidak pernah menunjuk
pengganti”. Pernyataan Umar di akhir hidupnya yang menjelaskan tentang
tidak adanya formula baku dalam suksesi kepemerintahan ini, telah direkam
oleh hampir semua kitab hadis yaitu Sahih Al-Bukhari dalam bab al-Ahkam,
Sahih Muslim dalam bab al-Imarah, Sunan Abi Dawud dalam bab al-Kharaj
wal Imarah, Tirmizi dalam bab al-Fitan dan juga Musnad Imam Ahmad.