Pembubaran HTI oleh pemerintah melalui
jalur hukum sebuah jalan yang tepat, kalau tidak berdasarkan hukum pemerintah
bisa dianggap berpolitik. Hal ini yang menjadi pemicu efek luas kepada
masyarakat bila pemerintah berpolitik. Atas dasar hukum, bukti-bukti yang memadai dan prosedur yang harus
dilewati, jadi pemerintah tidak membabi buta ormas yang bertentangan dengan UUD
1945 dan Pancasila.
Berdasarkan UU Nomor 17/2013
tentang Ormas, proses pembubaran diajukan ke pengadilan oleh jaksa. Pengadilan
wajib memutus dalam waktu maksimal 60 hari. Waktu itu bisa diperpanjang 20 hari
atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Sehingga tidak ada unsur politik dalam
membubarkan ormas.
Prinsip UU Ormas melindungi dan
menjaga kebebasan. Tapi, kalau kebebasan itu sendiri mengancam kebebasan orang
lain, pemerintah waib hadir menyelesaikan masalah. Berdasarkan Pasal 59 dan 69
UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, ormas dilarang melakukan
berbagai kegiatan yang antara lain menyebarkan rasa permusuhan yang bersifat
SARA, melakukan kegiatan separatis, mengumpulkan dana untuk parpol, dan
menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sebagai ormas berbadan hukum, HTI
tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kegiatan yang dilaksanakan HTI
terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Aktifitas yang
dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Ismail sekaligus mengonfirmasi
bahwa HTI hanya terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dan tidak terdaftar di
Kementerian Dalam Negeri. Hal itu sudah sesuai dengan peraturan yang ada yakni
Pasal 12 Nomor (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakat.
Melihat ormas-ormas seperti HTI
ini atau kelompok-kelompok Muslim kemarin yang garis keras sebagai lahan suara.
Dalam urusan politik praktis perkumpulan massa ormas sangat menarik sehingga
menjadi pembiaran. Menurut Jean Jacques Rousseau dlm Du Contract Social
menulis, “every man has born free, but in chain (setiap orang terlahir bebas,
tetapi juga dirantai)”, pada intinya kebebasan itu sendiri ada aturannya.
HTI juga sempat mendapat
dukungan, antara lain sebuah acaranya di Bogor dihadiri walikota Bogor Arya
Bima, dan sebuah acara lain pada tahun 20 13 dihadiri Adhyaksa Dault, Menteri
Pemuda dan Olah Raga saat itu, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Mereka juga terlibat dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, yang menuntut agar gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok, dipenjarakan.
Tokoh-tokoh seperti yang di atas
harus di waspadai dan dimintai keterangan alasan dan maksud menghadiri acara
yang digelar oleh HTI. Pemerintah bisa memanggil pejabat negara yang terlibat
dan membiarkan ormas yang jelas melakukan perlawan terhadap Pancasila dan UUD
1945.
Pemerintah Harus Adil
Melalui jalur hukum sudah
merupakan salah satu langkah pemerintah untuk bersikap fair. Biar suatu masalah
dapat dikaji secara jelas di depan hukum yang menentukan benar atau salah.
Pemerintah yang membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila
berdasarkan pengaduan dari masyarakat. Namun menurut Yusril pemerintah belum
melakukan langkah-langka persuasive seperti memberi surat peringatan sebanyak
tiga kali ke ormas HTI. Pemerintah menempuh jalur hukum bisa stagnan atau
justru menimbulkan kekisruhan.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad
Riza Patria mengatakan ada sederet langkah yang harus dilakukan pemerintah
sebelum membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah seharusnya
melakukan mekanisme pemanggilan, dialog hingga pembekuan terlebih dahulu.
Ketika massa ormas FPI mengangkat
kasus penodaan atas nama agama terhadap Ahok apakah sudah melakukan langkah
persusasif. Apakah FPI atau pemerintah sudah melakukan klarifikasi atau
berdiskusi dengan Ahok tentang pidatonya di Pulau Seribu. Apakah ketika massa
ormas Islam yang menuntut Ariel yang harus dipenjarakan melakukan tindakan
asusila. Apakah pemerintah sudah melelui prosedur langkah persusasif dan
klarifikasi terlebih dahulu. Yang
menjadi pertanyaan apakah dalam membawa kasus hukum harus melalui langkah
persusasif terlebih dahulu?
Ketika ada organisasi yang satu
dibubarkan maka harus ada tindakan tegas terhadap ormas lain yang juga
bertentangan dengan Pancasila. Sebagai contoh ormas yang mengatasnamakan
gerakan komunisme jangan sampai dibiarkan juga. Jika Pemerintah terlalu lama
merespon sedangkan aduan masyarakat juga menumpuk maka akan terjadi kekisruhan.
Antisipasai Negara Berlandasan Hukum Setiap Bukti Tuduhan
Sesuatu yang dituduhkan terhadap
ormas, harus mengacu pada hukum. Misal penghinaan terhadap lambang negara ada
pada Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Pasal 57 UU 24/2009,
Ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan di atas diatur dalam Pasal
68 UU 24/2009.
Di Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), bendera, bahasa, dan lambang negara,
serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan simbol kedaulatan dan kehormatan
negara, serta simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan negara.[1] Ini
menegaskan bahwa lambang negara adalah salah satu simbol negara.
Misal HTI berlandaskan konsep
ingin mengganti Pancasila dan meruntuhkan NKRI maka tuduahan pemerintah harus
berdaasarkan hukum yang berlaku. Misalnya dalam pasal KUHP Nomor 104-107 makar
yang ingin menggulingkn pemerintahan dan membahayakan presiden dan wakil
presiden. Ada sanksi dan hukuman tertentu yang harus diberikan kepada pelaku.
Begitu juga jika sebuah ormas melakuakan tindakan terror maka melalui UU No. 15
tahun 2003. Misal memakai pasal 28 UUD 1945 mengancam kebebasan orang/ormas
lain atau demokrasi itu sendiri juga harus berdasarkan aturan hukum yang
berlaku.
Hal-hal yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah harus memakai dasar
hukum secara kuat untuk disampaikan kepada publik untuk mengurangi aksi-aksi
yang berlebeihan. Jika ormas yang berasksi sudah secara berlebihan maka
pemerintah juga bisa menindak secara hukum karena telah melakukan pembelaan
terhadap yang salah. Bisa juga public yang demo dengan aksi anarki dan memaksa
pemerintah berarti telah melakukan perlawan terhadap pemerintah. Pemerintah
juga harus mempersiapkan dasar hukum untuk setiap perbuatan atau tindakan yang
bertanggung jawab di mata hukum.
Pemerintah terutama Kementerian
dalam Negeri, dan kementerian lain yang terkait harus fokus menyelesaikan
permasalahan internal tenang kebebasan berpendapat di negara demokrasi.
Pemerintah harus intens memberikan laporan kepada public beradasarkan landasan
hukum bahwa ormas ini terbukti bersalah. Pemerintah harus bekerja kepada ormas
manapaun yang ingin melemahkan NKRI dan UUD 1945 harus ditindak secara tegas.
Memberikan laporan update-an terbaru, pelaku ormas terbaru dan memberi sanksi
atau mencabut hak hukum pada pelaku ormas.
Kalau pemerintah hanya berhenti
di satu sisi saja dan tidak bekerja secara maksimal maka akan terjadi arus
gelombang masa. Pemerintah juga harus mengajak lembaga-lembaga seperti DPR atau
MPR untuk mengantisipasi jika ada sebuah perkumpulan yang ingin menggulingkan
Republik Indonesia. Antara Lembaga legislatifi, eksekutif dan yudikatif harus
bergerak seirama dalam melanjutkan cita-cita bangsa yang bermartabat di mata
dunia.
Pemerintah eksekutif harus bisa
menjadi promotor penggerak bagi lembaga-lembaga lain bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus bersih dari ormas-ormas parasite. Sehingga pemerintah ke depan
dalam mencerdaskan dan memajukan perekonomian rakyat tidak terganggu dengan
adanya perubahan dasar negara. Pancasaila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan
NKRI sudah final, tugas negara bagaimana berperan memajukan teknonlogi,
pendidikan, ekonomi dan sosial. Tidak lagi berkutat kembali enol atau kembali berjalan
di tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar