Jumat, 14 Desember 2012

Siapa Bilang Perempuan Tidk Boleh Jadi Pemimpin


Tema kepemimpinan perempuan atau perempuan menjadi pemimpin publik termasuk tema yang debatable (menjadi perdebatan) dikalangan ulama, dari dulu hingga kini. Tidak semua ulama bersepakat atas pelarangan perempuan menjadi pemimipin. Berikut ini bebrapa ulasan pendapat ulama tentang kepemimpinan perempuan:
1. Imam Abu Hanifah memperbolehkan perempuan menempati jabatan hakim sepanjang hanya untuk memberi kesaksian selain masalah hudud (kriminal yang dikenai sanksi bagi pelakunya).
2. Imam At-Thabari memperbolehkan perempuan menempati jabatan secara mutlak dengan harus tetap memperhatikan sisi kemaslahatan perempuan itu sendiri, keluarga, masyarakat, serta kemaslahatan umat Islam.
3. Imam Baghawi berkata ”ulama sepakat atas tidak diperbolehkannya perempuan menjadi imam dan hakim.”
Ulama moderat semacam Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dalam hak, kecuali dalam jabatan kepemimpinan dalam negara.
Pendapat sebagian ulama terkait larangan kepemimpinan perempuan berdasarkan pada beberapa dalil berikut, yaitu:
Alquran surat Al-Nisa’: 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: "Para lelaki adalah para qawwam perempuan karena anugrah yang diberikan Allah bagi sebagian atas sebagian yang lain dan karena mereka telah memberi nafkah sebagian dari harta mereka."
Ada dua pendekatan dalam memahami ayat tersebut di atas: Pertama, pendekatan tekstual. Para ulama sering mengartikan ayat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء (alrijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’) dengan arti “laki-laki adalah pemimpin perempuan.” Jika kita sepakat bahwa kata   قَوَّامُ (qawwam) memiliki arti pemimpin, jelas anugrah yang dimaksud dalam ayat ini adalah anugrah kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai ditulis oleh O’ Cannor adalah kemampuan untuk memberikan visi/wawasan sehingga orang lain ingin mencapainya. Kepemimpinan ini memerlukan ketrampilan untuk membangun hubungan dengan orang lain dan mengorganisasi berbagai sumber daya secara efektif. Penguasaan terhadap kepemimpinan terbuka untuk siapa saja. Bila syarat posisi قَوَّامُ (qawwam) adalah anugrah kepemimpinan, jelas posisi ini tidak hanya untuk laki-laki. Kepemimpinan juga boleh diduduki oleh perempuan yang memiliki kemampuan memberikan visi/wawasan, mampu mempengaruhi komunitasnya, mampu membangun hubungan dengan orang lain, dan mampu mengorganisir berbagai sumber daya secara efektif. Dan tentu saja kemampuan ini terbuka untuk semua manusia tanpa dibatasi oleh jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Kata qawwamun diartika pemimpin mungkin tidaklah salah, namun arti ini bukanlah satu-satunya arti yang dikandung ayat di atas. Kata  قَوَّامُونَ (qawwamuna) seringkali diartikan sebagai pemimpin, penjaga, pelindung, penanggung jawab, pendidik, dan lain-lain. Menurut M. Quraish Shihab (Ahli Tafsir dan Guru Besara UIN Jakarta), kata qawwamun yang diambil dari kata qa’im yang memiliki arti seorang yang melaksanakan tugas atau melakukan apa yang diharapkan darinya. Jika orang tersebut melakukannya secara terus-menerus maka disebutlah ia sebagai qawwam. Lalu bagaimana jika ternyata ada laki-laki yang tidak melaksanakan tugas atau melaksanakan apa yang diharapkan darinya apakah ia tetap dalam posisi qawwam? Dan bagaimana jika ternyata ada perempuan yang lebih banyak dan mampu melaksanakan tugas atau melaksanakan apa yang diharapkan darinya apakah ia tidak bisa dalam posisi qawwam? Tentu saja pengertian kata qawwam sebagai seorang yang melaksanakan apa yang diharapkan darinya memberikan paradigma keadilan dan kesataraan bagi laki-laki dan perempuan.
Kata al-rijal dan al-nisa’ menurut Nasruddin Umar (Guru Besar UIN Jakarta) dalam Bahasa Arab berbeda dengan al-dzakar dan al-untsa. Kata al-rijal tidak hanya berarti jenis kelamin laki-laki tetapi mempunyai arti maskulinitas, dan kata al-nisa’ tidak hanya diartikan dengan perempuan, melainkan sifat feminitas. Kedua kata ini berbeda dengan al-dzakar dan al-untsa yang berarti jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Sehingga yang dimaksud dengan al-rijal yaitu orang-orang yang memiliki sifat maskulinitas yang tentu saja bisa terdapat pada laki-laki atau juga perempuan.
Ayat di atas, bila ditelusuri lebih dalam, dapat dipahami bahwa sesungguhnya keberadaan laki-laki dalam posisi qawwam karena adanya sebab yang mengikutinya. Hal ini dijelaskan oleh teks sesudahnya yaitu وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ (bi ma faddalallahu ba’dahum ‘ala ba’din wa bi ma anfaqu min amwalihim) (atas anugrah yang Allah berikan kepada sebagian dari mereka atas sebagian dan atas nafkah yang mereka berikan dari harta mereka). Berdasar ayat ini, ada dua hal yang menyebabkan posisi qawwam yaitu: pertama: karena anugrah Allah dan kedua: karena mereka melakukan tindakan menafkahi.
Diawali dari sebab yang pertama yaitu “karena anugrah Allah”, secara ayat eksplisit di ayat tersebut Allah menyebut dengan kata بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ (bi ma faddalallahu ba’dahum ‘ala ba’din) bukan bi ma faddalahumulaha. Hal ini menunjukan bahwa secara tekstual jelas bahwa anugrah Allah itu diberikan kepada sebagian atas sebagian. Tampak jelas di ayat ini bahwa Allah tidak berfirman بِمَا فَضَّلَ االله له (bi ma faddalahulah) yang berarti diberikan kepada mereka (laki-laki) atas perempuan. Jadi teks ini bisa membuka kemungkinan kata بَعْضَهُمْ (ba’dahum) itu adalah laki-laki dan عَلَى بَعْضٍ (‘ala ba’din) adalah perempuan atau justru sebaliknya ba’duhum itu perempuan dan ‘ala ba’din adalah laki-laki.
Sekarang mari kita cermati sebab kedua ayat وَبِمَا أَنفَقُواْ (wa bi ma anfaqu) artinya “ dan karena mereka (laki-laki) telah melakukan tindakan menfkahi”. Melihat alasan kedua ini, lebih tepat jika ayat tersebut memahami sebagai tata cara pengaturan rumah tangga (domestik) bukan aturan sosial kemasyarakatan secara umum (publik). Sebab, kewajiban laki-laki menafkahi perempuan hanya terkait dalam urusan rumah tangga/domestik, bukan publik. Inipun relatif sifatnya.
Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab menafkahi, jika dilaksanakan oleh laki-laki secara terus-menerus maka disebutlah laki-laki itu sebagai qawwam. Bagaimana jika laki-laki tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab manfkahi secara terus-menerus dan justru perempanlah yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab menafkahi secara terus-menerus, apakah posisi qawwam tetap harus dipaksakan pada laki-laki? Juga bagaimana jika perempuan jusrtu yang melakukan tugas menafkahi, apakah kemudian dia tidak bisa disebut qawwam?
Dalam hukum sebab akibat, sesuatu yang terjadi karena perbuatan sebelumnya berakibat pada terjadinya sesuatu. Di sini sebab merupakan syarat terjadinya akibat menafkahi adalah sebab. Posisi qawwam adalah akibat sedangkan anugrah dan menafkahi adalah sebab. Jadi posisi qawwam hanya bisa dianugrahkan pada orang yang memenuhi kedua syarat sebab itu, yakni “anugrah dan nafkah”. Dalam ayat di atas, jenis kelamin bukanlah syarat. Dengan demikian, maka jika qawwam diartikan pemimpin, ia bisa diterimakan pada orang bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan.
Kedua, pendekatan kontekstual dengan memperhatikan Asbab nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat) dan Maqasid al-Syari’ah (maksud dan tujuan agama). Asbab nuzul surat Al-Nisa’:34 adalah karena kasus pengaduan seorang perempuan kepada Rasulullah s.a.w atas tindak pemukulan suaminya. Larangan Rasulullah s.a.w terhadap pemukulan perempuan telah menjadi berita kontrovesional pada masa itu, sehingga akhirnya turunlah surat  Al-Nisa’:34 tersebut. Jadi ayat ini sebenarnya tidak bisa dipahami secara tekstual, karena ayat ini bersifat kasuistik dan karenanya kontekstual. Untuk memahami ayat ini harus dipahami lebih dalam Maqasid al-syari’ah yang terkandung yakni keharmonisan suami-istri/rumah tangga.
Alquran Surat Al-Baqarah: 228
...وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ …
Artinya: “para lelaki memiliki satu derajat di atas mereka (perempuan).”
Ayat ini merupakan penjelas dari surat Al-Nisa 34. Derajat yang dimaksud di sini adalah derajat qawwam, sebagaimana telah di jelaskan di atas.
Hadits Nabi:
« لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Artinya: Tidak akan beruntung suatu masyarakat yang telah menyerahkan urusannya pada seorang perempuan.”
Perlu diketahui bahwa asbabul wurud (penyebab lahirnya) hadis ini adalah pernyataan Rasulullah s.a.w terkait gaya kepemimpinan anak perempuan kaisar Persia yang menggantikan ayahnya. Ia dikenal otoriter dan tidak mampu meredam konflik antar suku di wilayah Persia. Karenanya kepemimpinannya dianggap gagal. Sebagai sebuah respon nabi terhadap komunitas luar yang terjadi saat itu, Nabi bersabda sebagiamana di atas. Hadits ini bersifat kasuistik yakni komentar nabi terhadap sebuah kasus yang terjadi pada masa itu, bukan merupakan larangan semua kaum sesudahnya agar tidak menyerahkan pemerintahan kepada perempuan.
Secara tekstual, hadits riwayat Abi Barkah di atas adalah kalam khabariyah (kalam berita, informatif), bukan instruktif. Sedangkan jika dilihat dari segi perawinya, hadits ini juga berstatus Ahad. Dalam kaidah Ilmu Hadits, dalil yang berasal dari hadits Ahad (yang diriwayatkan oleh satu orang) yang khabariyah tidak memadahi untuk menjadi dasar hukum yang bernilai strategis. Dalam Ilmu nahwu dan shorof Penggunaan kata وَلَّوْا (wallau) (memeberikan kekuasaan) yang menggunakan kata kerja bentuk lampau فعل ماضى (fi’il madi). Itu artinya mereka yang dimaksud nabi adalah mereka yang telah menyerahkan pemerintahan di waktu sebelumnya, bukan umat sesudahnya. Andai saja yang dimaksud nabi adalah juga kaum-kaum setelah kasus Kerajaan Persia tersebut, mungkin tidak menggunakan kata kerja, tetapi kata يولون (yuwallauna) فعل مضارع (fi’il mudhari’; kata kerja masa sekarang atau yang akan datang).
Kesimpulannaya Allah tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Jika memiliki ilmu, kemampuan, dan keteladanan, bisa saja laki-laki atau perempuan menjadi pemimpin publik. Bukankah didalam Alquran dikisahkan kesuksesan Ratu Bilqis memimpin negeri Saba’ yang disebut negeri Baldatun Tayyibah wa Rabbun Gafur”? Dan bukankah Siti Aisyah r.a pernah memimpin pasukan dalam Perang Jamal? Bukankah Kerajaan Aceh dahulu pernah memiliki banyak pemimpin atau Ratu yang disegani kepemimpinannaya? Dan bukankah bangsa Indonesia juga pernah memiliki Presiden Megawti Soekarnoputri? Padahal banyak negara besar belum pernah sekalipun menghasilkan pemimpin perempuan. Karena itu, sudah tidak masanya lagi mempersoalkan kepemimpinan perempuan. Demikian penjelasan singkat ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam.
Baca juga :
naghaz-xavien.blogspot.com/2013/02/asbabul-wurud-hadits-kepemimpinan.html
Sumber: buku "Umat Bertanya Ulama Menjawab" oleh: Nyai Hj. Luluk Farida, S.Ag. M.Pd.I

Taushiah Quraish Shihab pada acara peringatan 1000 hari Gus Dur (Full ve...

Taushiah Quraish Shihab pada acara peringatan 1000 hari Gus Dur (Full ve...

Gus Mus - 1000GusDur (Part 2)

TIPOLOGI KEJAHATAN



TIPOLOGI KEJAHATAN
Oleh: Maulana Ghazali (1106022231)
Metode tipologi sendiri diperkenalkan oleh Weber dalam konsep Ideal type yaitu suatu cara membuat kategori dari obyek penelitian atau gejala  yang diteliti ke dalam beberapa tipe yang mempunyai ciri relative khas tetapi dalam ranah yang sama, misalnya kejahatan.Salah satu kegiatan intelektual yang bertujuan menjelaskan gejala kejahatan yang dipelajari adalah  pembuatan tipologi. Kendatipun tipologi merupakan proses mereduksi kasus-kasus menjadi yang lebih umum, tetapi ia merupakan usaha untuk membuat sintesa dari persamaan-persamaan kasus tersebut.
Bentuk-bentuk kejahatan yang dipandang penting untuk diuraikan dalam bab ini adalah:
1.      Kejahatan kekerasan
2.      Budaya kekerasan
3.      Kejahatan narkotika
4.      White-colar crime
5.      Kejahatan dalam kehidupan sehari-hari
6.      Organized crime
7.      Terorisme
8.      Kejahatan kebencian
9.      Kejahatan transnasional
10.  Cyber crime
Melalui tipologi keilmuan dapat berpikir dan menjelaskan gejala yang dipelajari secara sistematis. Tipologi kejahatan sebagai gejala social harus dibuat berdasarkan cirri-ciri sosialnya yang tidak sama dengan cirri yang dirumuskan oleh hokum pidana. White-colar crime misalnya adalah kategori social cirri pelaku kejahatan yang tidak akan ditemukan kategori tersebut dalam rumusan hokum pidana. Konsep White-colar crime sengaja dibuat untuk menunjukan kesempatan orang yang mempunyai kedudukan social ekonomi tinggi yang berbeda dibandingkan orang kelas bawah, yang menyebabkan orang tersebut dapat menyalahgunakan jabatan atau melakukan kejahatan dalam jabatannya. Sedangkan hukum pidana tidak mengenal pembedaan status social ekonomi orang dalam kejahatan.