IORA adalah kekuatan geopolitik
dan geoekonomi yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Kawasan ini
adalah masa depan ekonomi dunia. Saat ini menjadi momentum yang tepat mengingat
pertumbuhan ekonomi beberapa negara anggota IORA terbilang tinggi. Peningkatan
aktivitas perdagangan dan investasi IORA juga dapat semakin mendorong
pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan, serta menciptakan lapangan
kerja baru.
Asosiasi Negara Lingkar Samudera
Hindia/Indian Ocean Rim Association (IORA) berdiri secara resmi pada 6-7 Maret
1997. Pada awalnya, organisasi ini bernama "Indian Ocean Rim Association
for Regional Cooperation" (IOR-ARC). Tetapi pada Pertemuan Tingkat Menteri
ke-13 di Perth, Australia, nama IOR-ARC diubah menjadi IORA untuk meningkatkan
kesadaran publik bahwa forum ini adalah pemersatu negara-negara Samudera Hindia
sebagai satu kawasan.
Bagi Indonesia, IORA sangat
strategis dan sejalan dengan strategi diversifikasi pasar tujuan ekspor. IORA
memiliki peran yang sangat strategis sebagai forum pendorong stabilitas kawasan
dan IORA merupakan masa depan ekonomi di dunia. Hal ini sesuai dengan arahan
Presiden Joko Widodo. Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengoptimalkan
pertemuan ini untuk melakukan ekspansi atau pendalaman terhadap pasar-pasar
baru yang potensial.
Adapun ke-21 negara tersebut
adalah Australia, Afrika Selatan, Bangladesh, Komoros, India, Indonesia, Iran,
Kenya, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Mozambik, Oman, Seychelles, Singapura,
Somalia, Sri Lanka, Tanzania, Thailand, Uni Emirat Arab (UEA), dan Yaman.
Selain itu, terdapat tujuh negara mitra yakni AS, Inggris, Jepang, Jerman,
Mesir, China, dan Prancis.
IORA merupakan forum kerja sama
antarnegara terbesar di Samudera Hindia yang berdiri pada tahun 1997. Empat
negara anggota IORA (Afrika Selatan, Australia, India, dan Indonesia) serta 6
negara mitra IORA (AS, RRT, Jerman, Inggris, Jepang dan Perancis) merupakan
anggota G20. IORA Summit 2017 diselenggarakan pada 5-7 Maret 2017 di Jakarta
dengan agenda IORA Business Summit (IBS). Mempertemukan 300 CEO, pebisnis,
perwakilan kamar dagang dari berbagai negara, dan perwakilan negara-negara
anggota serta negara mitra.
Pengembangan Pasar Non-Tradisional
Bagi kebanyakan masyarakat nama
IORA memang kurang begitu dikenal dibanding misalnya organisasi kerjasama
ekonomi regional di kawasan Asia Pasifik (APEC) atau Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO).
Salah satunya Pasar Afrika di
Mesir Afsel Mozambique – sebagai pasar non tradisional Pemri menerapkan
kebijakan eksplorasi kerjasama ekonomi. Perlu mengoptimalkan instrument Exim
Bank, KADIN, dan BUMN Industri Strategis serta menggunakan skema pendanaan
(Financial Scheme). salah satu langkah yang perlu dijalankan Indonesia adalah
pembangunan infrasruktur dan konektivias maritim, termasuk dalam pengembangan
industri perkapalan dan maritime.
Mayoritas merupakan pasar
non-tradisional, dapat dilakukan melalui kerangka kerja sama bilateral supply chain. Menginisiasi
pelaksanaan business matching dengan
negara-negara IORA serta mengoptimalkan peran Kedutaan Besar Republik Indonesia
dalam mempromosikan kemampuan industri dalam negeri dan potensi pasar bagi
kedua belah pihak.
Peningkatan kerja sama seperti
pelatihan dalam membangun kapasitas industri, telah dilakukan dengan Mozambik
dan Seychelles di sektor industri kecil dan menengah. Selain itu, negara-negara
di wilayah itu memproduksi sekitar 1/3 produksi tuna dunia dan menyimpan
berbagai cadangan mineral yang bernilai ekonomi tinggi.
Apalagi dengan adanya kebijakan
mewujudkan visi sebagai poros maritim dunia. Indonesia tengah berupaya menjadi
negara yang berpengaruh baik secara ekonomi maupun politik di antara dua
samudra, yakni samudra Hindia dan Pasifik. Misalnya, Indonesia akan menjaga dan
mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut
melalui pengembangan industri perikanan.
Indonesia akan menjajaki peluang
kerja sama diantaranya sektor industri perkapalan dan peralatannya, pengolahan
hasil laut, komponen otomotif, petrokimia dan gasifikasi batubara, serta produk
hilir agro dengan IORA.
Kerja Sama Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan
Negara-negara di kawasan Samudera
Hindia dinilai potensial sebagai negara tujuan ekspor non tradisional bagi
Indonesia, yang tahun ini menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 5,6%. Menteri
Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan negara-negara yang
tergabung dalam Indian Ocean Rim Association (IORA), yaitu yang berbatasan
dengan Samudera Hindia, memiliki angka perdagangan intra-regional sebesar
US$777 miliar pada 2015. Namun, sekitar 96% di antaranya dikuasai enam negara
yakni Singapura, Malaysia, India, Indonesia, Australia, dan Afrika Selatan.
Selain itu, kontribusi terhadap
PDB dunia baru 10%, pangsa pasar globalnya baru 12%, dan porsi penanaman modal
asing (PMA) baru 13%. Padahal, dari 21 negara yang tergabung dengan IORA,
jumlah penduduknya mencapai 35% dari total penduduk dunia. Samudera Hindia juga
dilewati oleh 70% jalur perdagangan dunia, termasuk jalur distribusi minyak dan
gas.
Pertemuan tingkat puncak ini
adalah inisiatif dalam kekektuaan Indonesia dalam IORA periode 2015-2017. Ini
membuktikan bahwa Indonesia menjalankan kepercayaan dari negara-negara di dunia
untuk menggelar ajang penting dan memberikan kontribusi bagi kerja sama ekonomi
negara-negara di kawasan ini.
Indonesia berpeluang membangun
kemitraan lebih erat dengan anggota IORA sebagai growing partners dan pasar
ekspor nontradisional berbekal daya saing Indonesia pada peringkat 41 dunia.
Contohnya, potensi ekspor di pasar Afrika mencapai USD 550 miliar pada 2016,
namun realisasi ekspor Indonesia baru mencapai USD 4,2 miliar. Demikian juga
potensi ekspor ke pasar Timur Tengah yang mencapai USD 975 miliar, namun baru
terealisasi USD 5 miliar.
Peluang Indonesia di Mata Afrika
Indonesia yang sejak 1955
memiliki andil dalam sejarah melawan kolonialisme dan telah memberikan dorongan
bagi kemerdekaan negara-negara Afrika, dan bahkan beberapa kali Jakarta
menyelenggarakan peringatan Konferensi Asia Afrika dan tentunya menelan
anggaran yang sangat mahal. Kenyataannya Jakarta belum mampu memanfaatkan
potensi ekonomi yang dimiliki Afrika dalam bentuk kerja sama ekonomi yang
menjanjikan itu.
Indonesia diproyeksikan akan
menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2040, PDB
Afrika pun diprediksi akan melampaui 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2020. Di
samping itu terdapat modalitas yang signifikan bagi hubungan kedua pihak,
antara lain kedekatan sosial-budaya, solidaritas anti-kolonialisme, dan adanya
tantangan bersama bagi Indonesia dan Afrika.
Langkah konkrit yag dilakukan
Pemerintah Presiden Jokowi dengan kunjungan awal Menlu Retno Marsudi ke tiga
negara Afrika (Afrika Selatan, Mozambik dan Mesir) pada 7-8 Februari lalu
merupakan upaya konkrit yag perlu diapresiasi.
Terbukti pada saat krisis ekonomi
melanda dunia sejak beberapa tahun lalu, yang ditandai dengan berkurangnya
permintaan atas barang produksi Indonesia, lemahnya nilai komoditas primer
ekspor RI dan lemahnya daya beli negara-negara pengimpor produk RI, serta
ekspor RI ke negara tujuan ekspor tradisional menurun, ternyata ekspor RI ke
negara-negara Afrika malah menunjukkan angka kenaikan.
Fasilitasi ini penting karena
keinginan para pengusaha Indonesia untuk menembus pasar non tradisional seperti
ini masih rendah. Mereka cenderung untuk berdagang dengan negara yang jelas
terjamin aman, jelas keuntungannya dan tanpa harus keluar keringat untuk
mengurus semua proses ekspor yang masih berbelit.
Fakta lain yang harus dicermati
adalah bahwa ekspor RI ke negara-negara Afrika sebagian besar melalui pihak
ketiga, misalnya via Dubai dengan memanfaatkan kawasana free zone dan
kelengkapan fasilitas modern yang dimiliki negara itu.
Menurut Sujatmiko, dengan fakta
itu maka nilai ekspor RI biasanya tidak dihitung sebagai dari Indonesia,
padahal Uni Emirat Arab hanya me-re ekspor saja. Artinya jika nilai total
ekspor RI dihitung, maka sudah dipastikan bahwa nilai ekspor RI ke Afrika akan
lebih tinggi.